*SELAMAT TINGGAL RINDU*
Kemarin ...
Cinta datang atas nama rindu, dan ku sandarkan rasaku pada hatimu. Kau datang menjelma menjadi sebuah kidung yang menyenangkan di atas lidah hari. Ini berlangsung dalam menit dan detik sang waktu yang terbuai oleh desakan setangkup debar rindu. Rindu merangkulku dengan mesra. Aku pun pasrah dan menyerah, ketika debar itu semakin tak beraturan. Deru nafas kian menyentak pualam rindu. Dan kau bagaikan candu asmara yang menari-nari di pelupuk mataku. Kau seperti warna lembayung memadukan paduan warna yang indah, seindah warna cakrawala saat fajar merekah.
Hatiku terpikat dan bunga rindu kembali menggelegat. Ku mandikan jiwaku dengan wewangian rindu, serupa dengan apa yang dilakukan matahari ketika mendekati malam dan rembulan ketika mendekati pagi. Aku menutup mata terlihat tampilan rindu dengan tawa riangnya, seperti pensil-pensil beraneka warna yang sibuk memberikan warna indah pada sketsa wajahmu.
Seberkas cahaya rindu semakin asyik ku nikmati. Cahaya itu lebih terang dari rembulan dan bintang-bintang. Masuk ke hati nurani yang tak berubah oleh musim; bahkan jika mati abadi, rindu itu tak kan hilang berlalu. Biarkan lembah menelan nyanyian burung, dan angin memporak-porandakan daun-daun mahkota bunga mawar asal jangan menenggelamkan debar rindu turun ke dalam jurang.
Namun .....
Rindu itu pun menghilang bersama puteri mentari yang begitu menggoda pualam hatimu. Ku awali rasa rindu yang mengikat dan berakhir padamu jua. Angkasa pun tanpa pesan menyampaikan dengan penantian cemas. Rembulan dan matahari pun ternodai oleh gerhana dan awan yang sangat gelap. Saat ini kau bagai sariawan menjijikan yang berada di kuncup bunga termanis dan aku sulit mementaskan getaran rindu itu lagi disisimu.
Beribu keraguan menyambangi altar ragaku. Serasa waktu lambat beringsut mirip langkah siput. Ku lihat awan membentuk raksasa, seakan kelaparan ingin menghardik segenap rasa benciku yang kian melebur jadi satu. Seperti satu-kesatuan nada oktaf dalam melodi lagu. Bukan nada keindahan yang terdengar, justru nada sumbang yang riuh memanggil namamu untuk segera enyah dari jejak rinduku.
Dulu aku menyangka, indahnya rindu yang kau berikan bak mentari yang muncul setelah hujan reda dan pelangi warna- warni yang asyik untuk dinikmati. Tapi rindu palsumu bagaikan prahara ketika mentari bersembunyi dan si rakus rindu yang berujung pada kematian. Semua gelap dan sunyi. Kau berkilah dan berdalih bahwa rindumu itu masih warna jingga, semolek dan secantik senja kesumba layaknya tembakau dalam kemasan petang.
Rona jingga itu tetap aku inginkan berlalu dan tak perlu berlama-lama singgah di hamparan berandaku. Semuanya telah usai. Terhitung menit dan detik ini enyahlah wahai jejak rindu. Ku tak ingin kau ada di sini, karna bagiku kau hanyalah segumpalan debu yang tak lagi utuh....
*Urip Iku Urup*
*Surabaya 06 September 2018*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Manunggal Ing Roso
MANUNGGAL ING ROSO Karya: Urip Iku Urup Mendaki puncak sepi, tapakan jiwa dari bising resah menjamah Di dataran rendah, kumuh batin ber...
-
Karya: Urip Iku Urup 🧕🏻 Wisteria salju, pesona terjelita dari flora lembah kasih Cendawan mengusam di paras tampanmu, sebuah cadik...
-
*NIMBOSTRATUS PRACEPITATIO* Andai cirrostratus, altostratus jingga bisa bicara Akan menepis sunyi mencekam jiwa Rebahku bercumbu di ban...
-
🍂SEPARUH MALAM🍂 Oleh : Urip Iku Urup Separuh malam memahat sunyi Jiw...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar