MENASBIHKAN KALIMAT NUN
Oleh : Urip Iku Urup
Jika saatnya tiba di mana pasir melambaikan pantai, dan ia larut oleh gelombang pasang, maka surutnya air laut menyusul kerinduan. Sesaat itu susut yang tak dirasa, Senggama canda bercerita segelintir sirna, bagai pesta seketika purna, banyak sampah-sampah kenangan yang masih segar dipandang mata. Diri hanya mampu memeluk air mata walau tak harus menangisi sisa, Terkadang bayangan yang masih bersajak pulang menuang sesuap senyum sebinar kesan, tak mungkin cukup mengenyangkan duka yang sedang lapar. Sang gemetar pun tengah berkhotbah sembari berteriak kecil di mimbar dada, bisiknya pada telinga, aku menyesal ... aku menyesal ... dan aku menyesal! kembalikan aku pada pantai
Sang telinga pun melebar daun dari embun, tersenyum tipis setiap pagi selepas mimpi, namun! ia pun mengerucut takut pada kemelut di cerahan matahari, sebab panasnya kerap menusuk pori-pori, singgasana perih pengusik emosi, yang siap menjatuhkan si kecil hati sedang mengkaji bakti agar, dikarunia sang sejati. Di surau naluri menekuni ketegaran yang bergantung di langit keikhlasan, sabanhari menasbihkan kalimat, damai ... damai ... dan damai ...
Berjubah diam di luas kesunyian, dengan syair-syair rangkaian angan, senandungnya masih lirik kerinduan, mengalun dalam hening pengharapan sembari mengimbangi bunyian degup semakin kencang, selayak takbir dengan sejumlah vokal, tak terdengar satu walau tunggal ejaan namun! cukup menabuhkan bimbang, hingga keringat pun perlahan berkeliaran, berdengung suara, semoga ... semoga ... dan semoga ...
Meski air laut kembali datang, mungkinkah sepasir jua turut menumpang, menjumpai penantian yang dihidang, atas dasar rindunya yang lama terpendam, dan lagi memati ( Nun ) dipangkuan ( Qaf ) yang mengesahkan dengung lebih panjang, menjadi pesona suara indah di satu cerita
kau dan aku adalah jalinan, yang harus megah dalam ketulusan. Dibingkai kewajaran, kertasmu, kertasku sama-sama melembar, menerima apa yang terlukis seperti alam. Sehingga kita adalah puisi yang fitrah dibaca sehari-hari, walaupun bertubi gerak bumi memuitis imaji. Kita akan nurani sampai mati dan abadi
Surabaya 25-07-20
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Manunggal Ing Roso
MANUNGGAL ING ROSO Karya: Urip Iku Urup Mendaki puncak sepi, tapakan jiwa dari bising resah menjamah Di dataran rendah, kumuh batin ber...
-
Karya: Urip Iku Urup 🧕🏻 Wisteria salju, pesona terjelita dari flora lembah kasih Cendawan mengusam di paras tampanmu, sebuah cadik...
-
*NIMBOSTRATUS PRACEPITATIO* Andai cirrostratus, altostratus jingga bisa bicara Akan menepis sunyi mencekam jiwa Rebahku bercumbu di ban...
-
🍂SEPARUH MALAM🍂 Oleh : Urip Iku Urup Separuh malam memahat sunyi Jiw...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar